My First Book
Cukilan Cerita...
Cukilan Cerita...
Tentang Aku dan Kelana
Aku
duduk terpekur menghadap api unggun. Auranya yang hangat menyirami tubuhku.
Memberikan cercah cahaya bagi gelap pekat sekitar. Menyajikan irama gemertak
kayu terbakar hingga membara mematangkan tubuh-tubuh ikan yang diam terbujur
kaku, pasrah terpanggang menjadi sajian lezat manusia.
“Hmm,
wangi. Itu menandakan ikannya hampir matang.” oceh Kelana.
“Hhh…”
aku mendesah bosan. Aku mencoba mengintip wajah langit. Riuh sekali.
Bintang-bintang seakan sedang berlomba menunjukkan siapakah yang paling terang
bersinar. Mana ibu bulan? Oh, bulan sabit yang tersenyum. Sangat serasi
paduannya.
“Apa
tiap malam, langit senantiasa ceria seperti sekarang?” tanyaku.
“Selama
aku di sini, iya.”
“Di
sana aku jarang melihat yang seperti ini.”
“Tentu
saja. Bintang yang mungil itu selalu terlupakan di dunia sana yang banyak
gemerlap cahaya ambisinya. Jika di bawah telah terang oleh lampu, cahaya kecil
bintang tak berarti apa-apa. Itulah sebabnya saat di sana kau jarang melihat
yang seperti ini.”
Aku
diam mencoba memahamkan kata-katanya.
“Ah,
sudah matang semua!” menatapku dengan riang. “Mari kita habiskan!”
Perutku
tiba-tiba bunyi. Semoga dia tak mendengar. Air liurku pun mendadak menganak,
melihat ikan bakar yang siap makan Kelana sodorkan untukku.
“Nih,
makanlah! Kalau kurang ambil lagi.”
Aku
makan dengan lahap, rasanya seperti satu tahun aku baru makan lagi. Aku tak
peduli dengan tatapan keheranan dari matanya.
“Kenapa
kau ingin mati?”
Aku
kaget mendengar pertanyaannya di antara keheningan derak api unggun yang
membara. Bisu.